MAKALAH Musaqah, Muza'ah, dan Mukharabah
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah”
ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih kepada Ibu Delis Sri Maryati, M,Pd.I selaku Dosen mata kuliah “Fiqih II
(Muamalah)”yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Musaqah,
Muzara’ah, dan Mukhabarah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan di masa depan.
Bandung,
4 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.....................................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................................
BAB I:
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................
1.3 Tujuan ....................................................................................................................
BAB II:
Pembahasan
2.1 Penegertian al-Musaqah .........................................................................................
2.2 Pengertian al-Muzara’ah ........................................................................................
2.3 Pengertian Mukhabarah .........................................................................................
2.4 Berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah .....................................................................
BAB III:
Penutup
3.1
Kesimpulan...........................................................................................................
3.2 Saran....................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di muka
bumi ini sebagai khalifah atau pemimpin untuk diri sendiri maupun orang lain.
Meskipun manusia berperan sebagai khalifah, tentu tak luput dari bantuan
manusia lainnya, sehingga antara manusia satu dengan yang lainnya saling
membutuhkan satu sama lain. Di dalam Islam hubungan antar manusia telah diatur
sedemikian rupa agar tidak terjadi perselisihan yang mampu menimbulkan
permusuhan antara individu satu dengan lainnya.Seperti halnya hubungan bisnis
ataupun perniagaan antar individu. Apabila tidak dilandaskan hukum islam, maka
kecurangan dan kekecewaan pasti akan dirasakan oleh salah satu pihak yang
terlibat. Dari beberapa kemungkinan buruk tersebut, maka hendaklah setiap
melakukan pekerjaan ataupun hubungan bisnis dengan orang lain dilandaskan hukum
agama agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang
ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.Dalam kehidupan sosial, Nabi
Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi
kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah
ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yaitu
Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu
hikmah untuk kehidupan sosial.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa sebenarnya
al-Musaqah itu?
1.2.2Apa yang
dimaksud dengan al-Muzara’ah?
1.2.3Apa yang
dimaksud dengan Mukhabarah?
1.2.4Kapan
berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui
penegertian al-Musaqah.
1.3.2Mengetahui
pengertian al-Muzara’ah.
1.3.3Mengetahui
pengertian Mukhabarah.
1.3.4 Mengetahui kapan
berakhirnya Muzara’ah dan Mukhabarah.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN AL-MUSAQAH
Al-musaqah berasal dari kata as
saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi
(penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah
(penyiraman/pengairan).Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah
dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
·
Landasan Syariah
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad
bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan
penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal
ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluaraga-keluarga mereka
sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 .semua telah dilakukan oleh Khulafaur
Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya,
akan tetapi tidak seorang pun yang menyanggahanya. Berarti ini adalah ijma’
sukuti (konsensus) dari umat.Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk
dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan,
mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.[1]
·
Rukun dan
Syarat Musaqah
Rukun musaqah adalah:Pihak pemesok
tanaman, Pemeliharaan tanaman, Tanaman
yang dipelihara, Akad[2].Sedangkan syarat musaqah adalah
sebagai berikut:Ahli dalam akad, Menjelaskan bagian penggarap, Membebaskan
pemilik dari pohon, Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang
melangsungkan akad sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
·
Ketentuan
Al-Musaqah
Ketentuan Al-Musaqah adalah sebagai berikut:
a.Pemilik
lahan wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.
b.Pemelihara
wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
c.Pemelihara
tanaman disyaratkan memiliki keterampilan.
d.
Pembagian hasil tanaman harus dinyatakan
secara pasti dalam akad.
e.Pemeliharaan
tanaman wajib menganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jika
kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.[3]
·
Berakhirnya
Akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh, berakhirnya
akad musaqah apabila:Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis, Salah
satu pihak meninggal dunia, Ada udzur
yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.Dalam udzur, disini
para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi
atau tidak. Ulama Malikiyah berpendapat, al-musaqah adalah akad yang boleh
diwarisi, jika salah satu meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya
karena ada udzur dari pihak petani.Maka dari itu masing-masing pihak boleh
membatalkan akad itu.Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah
itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang
telah ada.[4]
2.2 PENGERTIAN AL-MUZARA’AH
Menurut bahasa, al-muzara’ah
diartikan wajan مُفَاعَلَةٌ dari kata اَلزَرْعُ yang sama
artinya dengan الإِنْبَاتُ (menumbuhkan). Muzara’ah
dinamai pula dangan mukhabarah dan muhaqalah.Orang irak memberikan istilah
muzara’ah dengan istilah al-qarah.[5]Dalam kamus istilah ekonomi muzara’ah ialah akad kerja sama
pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan menyerahkan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari
hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan; pemilik tanah menyerahkan
sekaligus memberikan modal untuk mengelola tanah kepada pihak lain. Sedangkan
mukhabarah adalah pemilik tanah menyerahkan kepada pihak orang yang mengelola
tanah, tetapi modalnya ditanggung oleh pengelola tanah dengan pembayaran 1/3 atau ¼ hasil panen.[6]
Menurut Hanafiyah,
muzara’ah ialah:
عَقْدٌ عَلَى الزَّرْعِ بِبَعْضِ
اْلخَارِجِ مِنَ اْلأَرْضِ
Imam Syafi’i mendefenisikan :
عَمَلُ الْأَرْضِ بِبَعْضِ مَا
يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْعَامِلِ
“Pengolahan tanah oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.”[8]
Dalam mukhabarah, bibit yang akan
ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muzara’ah, bibit
yang akan ditanam boleh dari pemilik.Kerjasama dalam bentuk muzara’ah ini
merupakan kehendak dan keinginan kedua belah pihak, oleh karena itu harus
terjadi dalam suatu akad atau perjanjian, baik secara formal dengan ucapan ijab
dan qabul, maupun dengan cara lain yang menunjukkan bahwa keduanya telah
melakukan kerja sama secara rela sama rela.[9]Dapat dijelaskan bahwa muzara’ah
merupakan kerjasama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian
bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit)
tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila
bibit disediakan sipekerja, maka kerjasama ini disebut al-mukhabarah.
Al-muzara’ah adalah kerja sama
pengolahan pertanian antar pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk di tanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.[10]Al muzara’ah sering kali diidentifikasi dengan mukhabarah.[11]Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut:
a. Muzara’ah : benih dari pemilik lahan
Munculnya pengertian muzara’ah dan
mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang
membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar
dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan
mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji.
Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha[13] mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
·
Landasan
Syariah
a. Al-hadits
Diriwayatkan dari ibnu umar bahwa
rasulullah saw. Pernah memberikan tanah khaibar kepada penduduknya (waktu itu
itu mereka masih yahudi) untuk di garap dengan imbalan pembagian hasil
buah-buahan dan tanaman.Diriwayatkan oleh bukhari dari jabir yang mengatakan
bahwa bangsa arab senantiasa mengolah tanah nya secara muzaraah denga rasio
bagi hasil 1/3 : 2/3, ¼ : ¾, ½ : ½, maka rasulullah pun bersabda, “hendaklah
menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barang siapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahan
lah tanahnya.”
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah
berkata Abu Jafar, “tidak ada satu rumah pun di madinah kecuali penghuninya
mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4 . Hal ini
telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin
Abdul Aziz, Qasim, Urwah, keluarga Abu Bakar, dan keluarga Ali.”
Menurut ulama Hanafiyah, hukum muzaraah yang sahih adalah
sebagai berikut:
1.
Segala keperluan untuk memelihara
tanaman diserahkan kepada penggarap.
2.
Pembiayaan atas tanaman dibagi
antara penggarap dan pemilik tanah.
3. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan
kesepakatan wakyu akad.
4.Menyiram atau menjaga tanaman,
disyaratkan akan dilakukan bersama, hal itu harus
dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang paling
bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman.
5. Dibolehkan menambah penghasilan
dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
6.
Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya,
penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.[14]
·
Rukun dan
Syarat Muzara’ah
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa
rukun muzara’ah adalah ijab dan kabul yang menujukan keridhaan diantara
keduanya. Dan Secara rinci yakni:Tanah,Perbuatan pekerja,Modal,Alat-alat untuk
menanam.[15]Ulama hanabilah berpendapat bahwa
muzara’ah dan musyaqah tidak memerlukan qabul secara lafazh, tetapi cukup
dengan mengerjakan tanahdianggap qabul.Menurut
pendapat paling kuat perkongsian harta termasuk muzara’ah dan harus menggunakan
shighat.[16]Adapun syaratnya:
1.
Syarat yang menyangkut orang yang berakad ialah keduanya harus sudah
baligh dan berakal.
2.Syarat menyangkut benih yang akan
ditanam harus jelas dan dapat menghasilkan.
3. Syarat yang menyangkut tanah;
a) Menurut adat dikalangan petani,
tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.
b)
Batas-batas tanah itu jelas.
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya
kepada petani untuk digarap.
4.
Syarat menyangkut hasil panen ;
a)
Pembagian panen masing-masing pihak harus jelas
b)
Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa boleh ada
pengkhususan
c)
Pembagian hasil panen itu ditentukan, misalnya ½, 1/3, atau ¼, sejak
dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan
penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti 1
kwintal untuk pekerja, atau 1 karung, karena kemungkinan hasil panen jauh
dibawah itu atau melampaui itu.
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
(sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa muzara’ah memiliki beberapa syarat
yang berkaitan dengan aqid (orang yang melangsungkan akad), tanaman, tanah yang
ditanami, sesuatu yang dikeluarkan dari tanah, tempat akad, alat bercocok
tanam, dan waktu bercocok tanam.
a.
Syarat aqid (orang yang melangsungkan akad)
1)
Mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan baligh.
2)
Imam abu hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama Hanafiyah
tidak mensyaratkannya.
b.
Syarat tanaman
Diantara para ulama terjadi
perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan
kepada pekerja.
c.
Syarat dengan garapan
1) Memungkinkan untuk digarap, yakni
pabila ditanami tanah tersebut akan menghasilkan.
2) Jelas.
3)
Ada penyerahan tanah.
d.Syarat-syarat tanaman yang
dihasilkan
1)
Jelas ketika akad
2)
Diharuskan atas kerja sama dua
orang yang akad
3)
Ditetapkan ukuran diantara
keduanya, seperti 1/3, ½ dan lain-lain.
4) Hasil dari tanaman harus
menyeluruh diantara dua orang yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan
mensyaratkan bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan sekadar
pengganti biji.
e.
Tujuan akad
Akad dalam muzara’ah harus
didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk memanfaatkan tanah.
f.Syarat alat bercocok tanam
Dibolehkan menggunakan alat
tradisional atau moderen dengan maksud sebagai konsekuensi atas akad.Jika hanya
bermaksud menggunakan alat dan tidak dikaitkan dengan akad, muzara’ah dipandang
rusak.
g.
Syarat muzara’ah
Dalam muzara’ah harus
menetapkan waktu. Jika waktu tidak
ditetapkan, muzara’ah dipandang tidak sah.[18]
2.3 PENGERTIAN MUKHABARAH
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja
sama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal
dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya
dari pemilik tanah.[19]
Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara mujara’ah dan mukabarah:
اَلْمُخَبَرَةُهِيَ عَمَلُ اْلاَرْضِ
بِبَعْضِ مَا يَحْرُجُ مِنْهَا وَألْبَذْرُمِنَ الْعَامِلِ . وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَابَرَةُ وَلَكِنَّ الْبَذْ
رَفِيْهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَالِكِ.
"Mukabarah adalah mengelola
tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari
pengelola.Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya berasal
dari pemilik tanah."[20]
1. Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat
bahwa mukhabarah ialah:
“Menggarap tanah dengan apa yang
dikeluarkan dari tanah tersebut”
2. Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa
mukhabarah ialah:
“Sesungguhnya pemilik hanya
menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”
Persamaannya ialah antara mukhabarah
dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan
tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila
modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan
dari pemilik tanah disebut muzara’ah.Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini
dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan
kacang.
·
Landasan
Hukum Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan
tanah semacam ini.Mereka beralasan pada beberapa hadits yang melarang paroan
tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya:
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai
tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia
untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang
sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena
itu, Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Adapun hadis yang melarang tadi
maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti
kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu
itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah
yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan
inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab
pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Memang kalau kita
selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan
lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.[22]
Landasan hukum yang membolehkan
mukhabarah dan muzaraah, dari sabda Nabi saw yang artinya:
“Dari Thawus ra.bahwa ia suka
bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan kepadanya: ya Abu Abdurrahman,
kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw
telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata : hai Amr, telah menceritakan
kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas
bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang
memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari
saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR.Muslim)[23]
Jadi, hukum mukhabarah sama seperti
muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat
memberi dan mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.
·
Rukun dan
Syarat Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut jumhur
ulama antara lain:Pemilik tanah, Petani/Penggarap, Objek
mukhabarah, Ijab dan qabul keduanya secara
lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a)
Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b)
Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c) Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas
batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.Pembagian untuk
masing-masing harus jelas penentuannya.
2.4 BERAKHIRNYA MUZARA’AH DAN MUKHABARAH
Beberapa hal yang menyebabkan berakhirnya muzara’ah dan
mukhabarah:
a.
Habis masa muzara’ah dan mukhabarah
b. Salah seorang yang akad meninggal
c. Adanya uzur. Menurut ulama
Hanafiyah, diantara uzur yang mengnyebabkan batalnya muzara’ah, antara lain :
1. Tanah garapan terpaksa dijual,
misalnya untuk membayar hutang
2. Si penggarap tidak dapat
mengelola tanah, seperti sakit, jihad di jalan Allah SWT dan lain-lain.[25]
·
Zakat
Muzara’ah Dan Mukhabarah
Zakat hasil paroan sawah atau ladang
ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib
atas orang yang mempunyai ladang atau
tanah, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, orang yang bekerja hanya
mendapatkan upah atas pekerjaanya.Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas petani
yang bekerja, pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah
seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib
dikeluarkan zakatnya. Jika benih
berasal dari keduannya, maka zakatnya wajib atas keduanya.[26]
·
Hikmah
Muzara’ah dan Mukhabarah
Manusia banyak yang mempunyai
binatang ternak seperti sapi, kebau, kuda, dan yang lainnya.Dia sanggup untuk
berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki
tanah. Sebaliknya banyak diantara manusia mempunyai tanah, sawah, ladang, dan
lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang
untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebutatau ia sendiri tidak sempat untuk
mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat
menghasilkan sesuatu apapun.Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghidari
adanya kepemilikan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah
untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksi karena
tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat
pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan
syirkah yaitu konsep bekerja sama dengan upaya menyatukan potensi yang ada pada
masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan dan saling
bertanggungjawab.Muzara’ah dan mukhabarah dalam Islam tidak membedakan antara
bagi laki-laki maupun perempuan. Pada masyarakat yang suka merantau seperti
masyarakat Pidie. Suami akan merantau, sedangkan istri tinggal di kampung
bersama orang tuanya. Istri yang ditinggalkan suami akan melakukan kegiatan,
seperti menanam kacang hijau, cabe, bawang atau kegiatan lainnya untuk menambah
penghasilan yang dkirim oleh suaminya diperantauan. Hasil kerja istri biasanya
akan dibeli perhiasan-perhiasan atau benda-benda lain yang khusus untuk
perempuan. Ketika rumah tangga mereka bubar, jenis harta kekayaan ini menjadi
milik bekas istri.[27]
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dapat disimpulkan dari pembahasan
diatas mengenai Musaqah, muzara’ah, mukhabarah ialah dimana suatu akad kerja
sama yang dilakukan antara dua orang atau lebih dalam pengelolaan pertanian
antara pemilik lahan dan si penggarap.
Dalam Musaqah, penggarap hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.Berbeda dengan Musaqah,
dalam muzara’ah pemilik lahan menyerahkan lahan pada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang
benihnya dari pemilik lahan.
Dalam muzara’ah dan mukhabarah
terdapat kesamaan dari pembagian kerjasama tersebut dan yang membedakannya
adalah apabila modal berasal dari pemilik lahan maka disebut muzara’ah dan
pabila modal berasal dari si penggarap itu sendiri maka disebut mukhabarah. Dan
untuk pembagian hasil sesuai kesepakatan masing-masing yang melakukan kerja
sama tersebut.
Demikian pula hukum musaqah,
muzara’ah dan mukhabarah ini diperbolehkan dikarenakan bentuk kerja sama ini
sama-sama memberi manfaat berupa keuntungan hasil perolehannya dapat dibagi
bersama sesuai kesepakatan diawal.
3.2 SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan
mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penyusun banyak berharap para
pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penyusun demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di
kesempatan–kesempatan berikutnya.Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada
khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Fauzan,Saleh. 2005. Fiqh
Sehari-hari. Jakarta: Gema Indah Press
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani
Ghazali, Abdul Rahman, dkk. 2010.
Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana
Mardani.2012. Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah. Jakarata:
Kencana
Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor:
Ghalia Indonesia
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam.
Bandung: Sinar Baru Algensido
Sarong, A. Hamid, dkk. 2009. Fiqh.
Banda Aceh: Bandar Publishing
Sholahuddin, Muhammad. 2011. Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis
Syari’ah. Jakarta: IKAPI
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh
Muamalah. Bandung: Pustaka Setia
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-garis
Besar Fiqh. Bogor: Kencana
[1] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah, (Jakarata:
Kencana, 2012) hal. 242 dan 243 (lihat
juga pasal 266 kompilasi hukum ekonomi syariah
[2] Ibid. hal 243
[3] Ibid. 243 ( lihat juga pasal 267 s/d pasal 270 kompilasi
hukum ekonomi syariah)
[5] Prof.Dr. Rachmat Syafe’i. Fiqh Muamalah. (Bandung: Pustaka
Setia, 2001). hal. 205
[6] H. Muhammad sholahuddin, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan,
dan Bisnis Syari’ah. (Jakarta: IKAPI, 2011). hal :116
[7] Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si., Fiqh Muamalah, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2008), hal : 153-154
[8] Abdul Rahman Ghazali dkk Hal :114
[9] Prof.Dr.Amir syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor:
Kencana, 2003) hal : 242
[10] Muhammad syafi’i antonio, Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 99 (lihat juga fiqh sunnah III,
hlm. 173)
[11]Ibid, hal. 99
[12]Ibid hal.99
[13] Ibid hal.99
[14] Rachmat Syafe’i hal :210-211
[15] Hendi Suhendi hal :
158
[16] Rahmat Syafe’i hal :
207-208
[17]Abdul Rahman Ghazali dkk, Hal. 115-117
[18] Rahmat syafe’i
hal: 209
[19] H. Muhammad
sholahuddin, hal :108
[20] Prof.Dr. Rachmat
Syafe’i. hal : 206
[21]
Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si., hal. 154-155
[22] H. Sulaiman Rasjid,
Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensido, September 2012), h. 302
[23] Abdul Rahman Ghazali dkk, hal : 118
[24]H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2012) hlm: 162-164.
[25] Rahmat Syafe’i, hal : 211
[27] Dr. A. Hamid Sarong, dkk., Fiqh, (Banda Aceh: Bandar
Publishing, Januari 2009), hal. 114
Komentar
Posting Komentar