MAKALAH Syirqah dan Ji'alah



                                                 KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Syirkah dan Ji’alah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Delis Sri Maryati, M,Pd.I selaku Dosen mata kuliah “Fiqih II (Muamalah)”yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna  dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.









Bandung, 17 November 2016
Penyusun




DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................... 1
Daftar Isi.............................................................................................................................. 2

BAB I: PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang ....................................................................................................... 3
1.2         Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
1.3         Tujuan .................................................................................................................... 3

BAB II: PEMBAHASAN
2.1        Penegertian Syirkah ........................................................................................... 4
2.2       Rukun dan Syarat Syariat .................................................................................. 5
2.3       Macam-Macam Syirkah .................................................................................... 6
2.4       Pengertian Al-Ji’alah …………………............................................................... 7
2.5       Syarat-Syarat Al-Ji’alah …………………………………………………………….. 7
2.6       Hukum Ji’alah ………………………………………………………………………. 7

BAB III: PENUTUP
3.1         Kesimpulan......................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 9





BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah atau pemimpin untuk diri sendiri maupun orang lain. Meskipun manusia berperan sebagai khalifah, tentu tak luput dari bantuan manusia lainnya, sehingga antara manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan satu sama lain. Di dalam Islam hubungan antar manusia telah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi perselisihan yang mampu menimbulkan permusuhan antara individu satu dengan lainnya.Seperti halnya hubungan bisnis ataupun perniagaan antar individu. Apabila tidak dilandaskan hukum islam, maka kecurangan dan kekecewaan pasti akan dirasakan oleh salah satu pihak yang terlibat. Dari beberapa kemungkinan buruk tersebut, maka hendaklah setiap melakukan pekerjaan ataupun hubungan bisnis dengan orang lain dilandaskan hukum agama agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan.
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.Dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama. Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yaitu Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah.Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.

1.2    Rumusan Masalah
1.2.1  Apa devenisi dari Syirkah?
1.2.2  Apa yang dimaksud Rukun dan Syarat Syarat Beserta Macam-Macam Syirkah?
1.2.3  Apa devenisi dari Ji’alah?
1.2.4  Apa yang dimaksud Syarat-Syarat dan Hukum Ji’alah?

1.3   Tujuan
1.3.1   Mengetahui penegertian Syirkah.
1.3.2   Mengetahui tentang Rukun dan Syarat Beserta Macam-Macam Syirkah.
1.3.3   Mengetahui pengertian Ji’alah.
1.3.4    Mengetahui Syarat-Syarat dan Hukum Ji’alah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    PENGERTIAN SYIRKAH
Syirkah (  شركة) dalam arti bahasa adalah:
الا ختلا ط أي خلت أحد الما لين با الاخر بحيث لا يمتزا ن عن بعضهما
Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.[1]
Menurut istilah, yang dimaksud dengan syirkah para fuqaha berbeda pendapat sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafiayah
Syirkah adalah sesuatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang berserikat di dalam modal dan keuntungan.[2]
2.      Menurut Malikiyah
Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri mereka, yakni setiap orang yang berserikat memberikan persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya di samping masih tetapnya hak tasarruf bagi masing-masing peserta.[3]
3.      Menurut Syafi’iyah
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.[4]
4.      Menurut Hanabilah
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atau hak atau tasarruf.[5]
Setelah diketahui definisi-definisi di atas, maka yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.[6] 
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah:
·         Surah An-Nisa ayat 12
Tetapi jika saudara-saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.
·         Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah dari Nabi Saw.
Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya kepada nabi, beliau bersabda: Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati temannya. Apabila ia berkhianat kepada temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya. (HR. Abu Dawud)[7]  
Dari  Al-Qur’an dan Sunnah tersebut, jelaslah bahwa syirkah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’.[8]

2.2     RUKUN DAN SYARAT SYIRKAH
Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan kabul sebab ijab kabul (akad) yang menentukan adanya syirkah.[9] Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat:
1.    Sesuatu yang bertalian dengan sebuah bentuk syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu yang pertama yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, yang kedua adalah yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.     Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu yang pertama, bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran, seperti rupiah, yang kedua adalah yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama atau bebeda.
3.    Sesuatu yang bertalian dengan syarikat mufawadhah, dalam mufawadhah disyaratkan yang pertama yaitu modal (pokok harta) dalam syirkah muwafadhah harus sama, yang kedua bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah, yang ketiga adalah bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli/perdagangan.
4.     Syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Syafi’iyah berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal.

2.3    MACAM-MACAM SYIRKAH
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:
1.      Syirkah Al-Amlak
Pengertian syirkah al-amlak adalah:
الشركة الأملاك هي أن يتملك شخصان فأكثر عينا من غيره عقد الشركة
Syirkah milik adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang tanpa melalui akad syirkah.
Syirkah Milik terbagi kepada dua bagian:
a.      Syirkah ikhtiyariyah, yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuata orang-orang yang berserikat.
b.     Syirkah Jabariyah, yaitu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka.
2.      Syirkah Al-Uqud
Pengertian syirkah al-uqud adalah:
هي عبارة عن العقد الواقع بين اثنين فأكثر للا شتراك في مال وربحه
Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan keuntungan.
Menurut Hanabilah, syirkah ‘uqud ada 5 macam:
1.     Syirkah ‘Inan, adalah suatu persekutuan atau kerja sama antara dua pihak dalam harta (modal) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi  di antara mereka.
2.     Syirkah Amwal, adalah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
3.     Syirkah Wujuh, adalah suatu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli suatu barang tanpa menggunakan modal.
4.     Syirkah Abdan atau disebut juga dengan Syirkah A’mal, adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama.
5.     Syirkah Mufawadhah, adalah suatu perjanjian kerja sama antara beberapa orang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, di mana setiap peserta menjadi penanggung jawab atas peserta yang lainya.

2.4     PENGERTIAN AL-JIALAH[10]
Bagi seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga menurut pendapatnya, tentu akan berupaya menemukan kembali benda-benda yang hilang. Salah satu cara mencari benda-benda yang hilang dan boleh menurut para ulama adalah dengan pengumuman, baik melalui media massa, radio, pamflet-pamflet, maupun yang lainnya. Pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan (memberikan imbalan) bagi penemunya sebagai daya tarik . Al-Jialah boleh juga diartikan sebagai sesuatu yang mesti diberikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, al-Jialah dapat diartikan pula sebagai upah mencari benda-benda yang hilang.

2.5     SYARAT-SYARAT AL-JI’ALAH[11]
Secara esensial pada al-ji’alah disyaratkan supaya nyata (jelas). Syarat-syarat jelasnya al-ji’alah adalah sebagai berikut:
·        Kalimat atau lafaz yang menunjukan izin pekerjaan, yang merupakan syarat atau tuntutan dengan tukaran tertentu. Bila seseorang mengerjakan perbuatan, tetapi tanpa seizin orang yang menyuruh (yang punya barang), maka baginya tidak ada (tidak memperoleh) suatu apapun, jika barang itu ditemukannya. 
·        Keadaan al-ji’alah itu hendaknya ditentukan, uang atau barang sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu.

2.6    HUKUM JI’ALAH
Ji’alah hukumnya mubah (Boleh), dasar hukumnya bermula dari Firman Allah SWT:
قَالُوُا نَفْقِدُصُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَبِهِ حِمْلٌ بَعِيْرٍوَأَنَابِهِ زَعِيْمٌ
“Penyeru-penyeru itu berkata :”Kami kehilangan Piala Raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan akan menjanjikan terhadapnya“ (QS. Yusuf : 72)
BAB III
PENUTUP

            Dari pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan bersama. Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang menjalankan saham.

Syirkah akan berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk melakukan syikrah itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah tersebut sah. Hukumnya sangat dianjurkan jika kedua belah pihak saling amanah, haram jika keduanya saling berkhianat. Syirkah dinyatakan sah jika memenuhi rukun dan syarat.

Hikmah dari pada syirkah adalah:
·         Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya dibidang ekonomi.
·         Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bias lebih mantap, karena hasil pemikiran dari banyak orang.
·         Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa soldaritas untuk kemajuan bersama.
·         Jika usaha berkembang dengan baik, jangkauan operasi rasionalnya semakin meluas, maka membutuhkan tenaga kerja yang banyak, ini berarti syirkah akan menampung banyak tenaga kerja sehingga dapat mensejahterakan sebagian masyarakat.

Hikmah Ji’alah diantaranya:
·         Memacu prestasi dalam suatu bidang yang disayembarakan (dilombakan).
·         Menumbuhkan sikap saling tolong menolong antar sesama manusia.
·         Adanya penghargaan terhadap suatu prestasi dari pekerjaan yang dilaksanakan.




DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997.

Wardi Muslich, Ahmad, Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah, 201.






[1] Wahbah Zuhaili, Al-fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh, juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 792.
[2] Wahbah Zuhaili, op. Cit., Juz 4 hlm. 793.
[3] Ibid, Juz 4, hlm. 792.
[4] Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Khifayah Al-Akhyar, Juz 1, Dar Al-‘Ilmi, Surabaya, t. t., hlm. 226.
[5] Syamsuddin Abdurrahman bin Qudamah, Asy-Syarh Al-Kabir, Juz 3, Dar Al-Fikr, t. t., hlm. 54.
[6] Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 127.
[7] Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajstani, Sunan Abu Dawud, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, t. t., hlm. 256.
[8] Warsi Muslich Ahmad, Fiqh Muamalah, Amzah, Jakarta, hlm. 343.
[9] Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 127.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH Perkembangan Moral

MAKALAH Kaidah-Kaidah Ushul Fiqih

MAKALAH Konsep dan Fungsi Manusia Berkualitas